The Nurdayat Foundation


KI HADJAR DEWANTARA: MENEROBOS DISTORSI DAN MENYAMBUNG BENANG MERAH PERADABAN
Sabtu, 2 Mei 2009, 7:00 am
Filed under: Pandangan Tokoh

Ki Hadjar dg murid2nya

Saya mempunyai keyakinan, Saudara Ketua, bahwa seandainya bangsa kita tidak keputusan naluri atau tradisi, tidak kehilangan “garis kontinu” dengan zaman yang lampau, maka sistem pendidikan dan pengajaran di negeri kita… pasti akan mempunyai bentuk serta isi dan irama, yang lain daripada yang kita lihat sekarang…                    (Ki Hadjar Dewantara).

Tulisan di atas adalah pendapat Ki Hadjar Dewantara yang disampaikan dalam Pidato Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada pada 7 November 1956. Tulisan ini secara jelas memperlihatkan refleksi Ki Hadjar Dewantara tentang keadaan bangsa Indonesia yang mengalami distorsi atau penyimpangan jalannya sejarah peradaban pada masa silam selama 350-an tahun sebagai akibat penjajahan Belanda. Situasi penjajahan ini membawa akibat terputusnya tradisi dan budaya, termasuk di dalamnya sistem pendidikan bangsa Indonesia. Akibatnya, bangsa Indonesia sangat lama mengalami kevakuman dan “terpaksa” harus berkiblat ke Barat dalam bentuk, isi, dan irama sistem pendidikan dan pengajaran. Seandainya tidak ada penjajahan, bangsa Indonesia pasti akan mempunyai sistem pendidikan yang bentuk, isi, dan iramanya lain.

Ki Hadjar Dewantara melihat bahwa pendidikan ala Belanda yang muncul sebagai Ethische Politiek pada permulaan abad ke-20 tidak sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia karena hanya mementingkan aspek intelektual, individual, material, dan kepentingan kolonial serta tidak mengandung cita-cita kebudayaan nasional. Sistem pendidikan yang berkembang sesudah era itu masih memperlihatkan pengaruh yang kuat sistem pendidikan ala Belanda. Padahal dalam tradisi bangsa Indonesia, menurut Ki Hadjar, kita mengenal istilah pendidik seperti pujangga, dalang, dwidjawara, hadjar, pendita, wiku, begawan, wali, kyai, dan juga istilah anak didik seperti mentrik, sontrang, dahyang, cantrik, dan santri. Ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia telah memiliki sejarah pendidikan yang panjang, yang berakar dari budaya bangsa sendiri, namun terputus karena penjajahan Belanda yang berlangsung selama 350 tahun.

Masa penjajahan Belanda adalah masa terdistorsinya tradisi, budaya, dan pendidikan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia yang pernah mengalami masa kejayaan dalam berbagai ilmu, misalnya ketatanegaraan, sastra, budaya, teknologi, pelayaran, pertanian, seperti yang terlhat pada masa Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur (abad IV), Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat (abad V), Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah (abad VI), Kerajaan Sriwijaya di Sumatra (abad VII), dan Kerajaan Majapahit (abad XIV); mengalami masa-masa pembodohan, pemiskinan, dan pengkerdilan sebagai bangsa terjajah pada era sesudahnya. Berbagai ilmu khas yang ada di Nusantara banyak yang diambil dan dipelajari oleh kaum penjajah sehingga di Belanda berkembang apa yang disebut Indology, yakni studi tentang budaya, bahasa, dan kesusasteraan nusantara. Sementara itu, bangsa Indonesia sebagai kaum terjajah selama beberapa generasi mengalami titik nadir dalam berbagai aspek itu. Faktanya adalah tidak ada upaya untuk mengembangkan pendidikan. Kalau akhirnya ada, itupun terbatas bagi kalangan priyayi dan tidak untuk rakyat kebanyakan atau demi memenuhi kebutuhan pemerintahan kolonial di bumi nusantara pada waktu itu.

Menyambung Benang Merah

Masa generasi yang hilang pernah dialami bangsa Indonesia. Masa sulit itu terjadi pada waktu Kerajaan Mataram di era pasca Sultan Agung hingga era Kebangkitan Nasional. Dalam kurun waktu selama itu, bangsa Indonesia mengalami penetrasi dalam segala hal, seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya oleh Veerenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) dan pemerintah Hindia Belanda. Masa-masa itu terjadi pembodohan, pemiskinan, dan pengkerdilan yang luar biasa yang mengakibatkan hilangnya harkat dan martabat sebagai bangsa besar.

Banyak upaya fisik dan non-fisik yang telah dilakukan oleh putera-puteri terbaik bangsa mulai dari perlawanan Sultan Agung, Amangkurat, Raden Mas Said atau Pangeran Samber Nyawa, Pangeran Mangkubumi, Pattimura, Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, RA Kartini, dan sebagainya, hingga perlawanan dengan jalur politik seperti Indische Partij, Budi Utomo, Sarekat Dagang Islam (SDI), serta perlawanan melalui jalur pendidikan dengan munculnya sekolah keagamaan dan kebangsaan seperti Perguruan Nasional Taman Siswa atau Nationaal Onderwijs Instituut.

Adalah Raden Mas Suwardi Suryaningrat atau Ki Hadjar Dewantara, putera dari Pakualaman Yogyakarta, yang secara intens berupaya menyambung kembali garis tradisi bangsa Indonesia yang terputus dengan kejayaan masa lampau melalui jalur pendidikan. Ki Hadjar dengan perguruan Taman Siswa, yang didirikannya pada tahun 1922, berupaya meletakkan dasar-dasar kebudayaan bangsa dan semangat kebangsaan di dalam gerakan pendidikan yang dilakukan di Jawa, Sumatra, Borneo, Sulawesi, Sunda Kecil, dan Maluku. Semua itu didedikasikan untuk memulihkan harkat dan martabat bangsa dan menghilangkan kebodohan, kekerdilan, dan feodalisme sebagai akibat nyata dari penjajahan. Dalam hal ini, Ki Hadjar Dewantara adalah salah satu di antara sekian putera-puteri terbaik bangsa Indonesia yang telah berupaya menyambung benang merah peradaban bangsa Indonesia yang sempat terputus sekian lama.

Beberapa Butir Pemikiran Ki Hadjar

Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan memberikan harapan baru untuk kemajuan bangsa Indonesia, bukan hanya pada masa awal kemerdekaan, masa kemerdekaan, dan masa pasca kemerdekaan; tetapi juga ketika bangsa ini mengalami carut-marut pendidikan pada masa reformasi dan globalisasi.

Pertama, Ki Hadjar Dewantara melihat pendidikan dengan perspektif antropologis, yaitu bagaimana warga masyarakat meneruskan warisan budaya kepada generasi berikutnya dan mempertahankan tatanan sosial. Tentang hal ini Ki Hadjar menyatakan bahwa “pendidikan adalah tempat persemaian segala benih-benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat kebangsaan”. Dengan demikian, segala unsur peradaban dan kebudayaan tadi dapat tumbuh dengan sebaik-baiknya dan dapat diteruskan kepada anak cucu yang akan datang.

Ki Hadjar Dewantara bukanlah seorang yang terjebak dalam romantisme kejayaan masa lalu yang hanya memikirkan pewarisan budaya melalui pendidikan. Kalaupun aspek ini ditekankan oleh Ki Hadjar, penyebabnya adalah anak-anak bangsa ini pernah mengalami dan merasakan sebagai generasi yang hilang. Ki Hadjar memandang penting pewarisan budaya ini sebagai cara menyambung kembali peradaban bangsa yang pernah terdistorsi.

Ki Hadjar juga nemikirkan kemajuan budaya bangsa yang harus selalu bertumbuh. Menurut Ki Hadjar, pendidikan merupakan proses akulturasi, dalam oengertian, masyarakat tidak hanya menyerap warisan budaya tetapi juga memadu-kan berbagai unsur budaya tanpa menghancurkan unsur inti atau tema utama kebudayaan, dalam hal ini kebudayaan nasional (Cultureel Nationalisme). Ki Hadjar Dewantara (1964:19) memunculkan Asas Tri-Kon, bahwa pertukaran kebudayaan dengan dunia luar harus dilakukan secara Kontinuitet dengan alam kebudayaannya sendiri, lalu Konvergensi dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang ada, dan akhirnya, jika sudah bersatu dalam alam universal, bersama-sama mewujudkan persatuan dunia dan manusia yang Konsentris. Konsentris berarti bertitik pusat satu dengan alam-alam kebudayaan sedunia, tetapi masih tetap memiliki garis lingkaran sendiri-sendiri. Inilah suatu bentuk dari sifat Bhinneka Tunggal Ika.

Ki Hadjar Dewantara sangat arif dalam menyikapi pengaruh budaya Barat, dia menganjurkan untuk bersikap selektif terhadap unsur budaya Barat. Dia menyadari bahwa dia pernah mengenyam pendidikan Barat, baik ketika di ELS (Sekolah Dasar untuk orang Eropa) maupun ketika mengalami masa pembuangan di Belanda bersama dua sahabat karibnya, Dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo. Bahkan menurut kesaksian Bambang Sukawati Dewantara, dalam bukunya yang berjudul “Mereka yang Selalu Hidup: Ki Hadjar Dewantara dan Nyi Hadjar Dewantara”, dituliskan bahwa Ki Hadjar Dewantara, yang pada waktu itu bernama Raden Mas Suwardi Suryaningrat, sangat senang ketika mendengar kabar dari ayahnya, Suryaningrat, bahwa dia diperbolehkan masuk ELS atas ijin dari Meester Abendanon.

Kedua, Ki Hadjar Dewantara memiliki pemikiran bahwa pendidikan nasional harus berdasarkan pada garis hidup bangsanya dan ditujukan untuk keperluan peri kehidupan, yang dapat mengangkat derajat negeri dan rakyatnya, sehingga bersamaan kedudukan dan pantas bekerjasama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia. Pemikiran ini menunjukkan bahwa Ki Hadjar Dewantara adalah seorang yang sangat menghargai pluralisme atau kemajemukan. Dia juga seorang yang berpikiran futuristik.

Sistem pendidikan nasional yang digagas Ki Hadjar Dewantara 50-an tahun yang lalu adalah sistem pendidikan yang tanggap dan mampu menjawab tatanan dunia yang mengglobal, yang dipacu oleh proses pemisahan waktu dari ruang. Pembebasan waktu dan ruang yang oleh Giddens (1990) dan Sastrapratedja (2001) disebut sebagai disembedding merupakan faktor dari proses modernisasi dan membawa implikasi pada universalisasi yang memungkinkan jaringan global berbagai hubungan antarbangsa melintasi ruang dan waktu.

Apa yang terjadi pada masa sekarang ini tampaknya sudah diprediksikan oleh Ki Hadjar Dewantara sehingga dalam konsep pendidikan nasional yang digagasnya diusulkan asas Tri-Kon, yakni kontinuitet, konvergensi, dan konsentris. Asas ini dimaksudkan sebagai cara untuk mengubah paradigma dan pola berpikir dalam menyikapi kemajemukan budaya nasional maupun internasional melalui pendidikan dan pengajaran. Wawasan kemajemukan ini membuka peluang bagi berkembangnya sikap toleran, inklusivisme, dan non-sektarianisme yang merupakan wujud konkret dari Bhinneka Tunggal Ika.

Ketiga, Ki Hadjar Dewantara juga memandang penting pendidikan budi pekerti. Menurut dia, pendidikan ala Barat yang hanya berorientasi pada segi intelektualisme, individualisme, dan materialisme tidak sepenuhnya sesuai dengan corak budaya dan kebutuhan bangsa Indonesia. Warisan nilai-nilai luhur budaya dan religiusitas bangsa Indonesia yang masih dihidupi dan dijadikan pedoman hidup keluarga-keluarga di masyarakat Indonesia harus dikembangkan dalam dunia pendidikan. Nilai-nilai luhur tersebut memperlihatkan kearifan budi pekerti yang memperlihatkan harkat dan martabat bangsa.

Pendidikan dalam konteks pemikiran Ki Hadjar tidak cukup hanya membuat anak menjadi pintar atau unggul dalam aspek kognitifnya. Pendidikan haruslah mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki anak seperti daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif). Pendidikan juga harus mampu mengembangkan anak menjadi mandiri dan sekaligus memiliki rasa kepedulian terhadap orang lain, bangsa, dan kemanusiaan. Dengan demikian, pendidikan akan mampu membawa anak menjadi seorang yang humanis dan lebih berbudaya.

Kembali ke Ki Hadjar Dewantara

Sebagai suatu bangsa, Indonesia memiliki sejarah yang sangat tua, bahkan lebih tua dari bangsa adi daya seperti Amerika dan Australia. Peradaban bangsa Indonesia telah mulai bertumbuh semenjak pada Abad ke-4 sesudah Masehi. Bangsa Indonesia dalam perspektif historis pernah mengalami distorsi peradaban selama 350 tahun akibat penjajahan Belanda sehingga mengalami kemunduran dalam berbagai segi.

Ki Hadjar Dewantara atau Raden Mas Suwardi Suryaningrat, putra dari Pangeran Suryaningrat, cucu dari KGPAA Paku Alam III, adalah satu di antara putera terbaik bangsa yang berupaya menjalin dan menyambung kembali peradaban bangsa Indonesia melalui gerakan pendidikan dengan Perguruan Nasional Taman Siswa atau Nationaal Onderwijs Instituut. Ki Hadjar Dewantara melalui pemikiran-pemikirannya, meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional yang bercirikan kebangsaan dan kebudayaan nasional. Dia berupaya membangun kembali kesadaran bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, bermartabat, dan berperadaban tinggi setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dialah Bapak Pendidikan Nasional yang pemikiran-pemikirannya patut dipertimbangkan kembali untuk mengatasi carut-marut pendidikan nasional pada era reformasi dan globaklisasi sekarang ini. (***)

-o0o-

Tulisan ini adalah karya KGPAA Sri Paku Alam IX yang dimuat dalam rubrik Opini harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Kamis Wage 5 Juni 2008 (1 Jumadilakir 1941 S).

Termuat atas kerjasama Panitia Bedah Buku Nasional Pura Pakualaman dengan PT BP Kedaulatan Rakyat menyambut 202 Taun Adeging Negari Pakualaman.


21 Komentar so far
Tinggalkan komentar

hahaha dan selama ini yang banyak kita ketahui adalah devide et impera…

Kang Nur:
dan mem-besar2kan bahwa kita menjadi terjajah adalah akibat ‘devide et impera’-nya penjajah, adalah seperti melemparkan kesalahan semata kepada pihak penjajah.. padahal kebanyakan karena kebodohan kita sendiri.. pelajaran sejarah semestinya mampu mmbangkitkan semangat, bukannya me-nyalah2kan nasib.. he..he 🙂 bukan hapalan kosong dan olok-olok 🙂

Komentar oleh ardianzzz

mampir… dah lama tidak ke sini.
[…]

Pendidikan haruslah mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki anak seperti daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif).

Biasanya banyak yang dikenal di dunia pendidikan adalah kognitif, afektif, dan motorik. Ketiganya harus seimbang agar sukses di dunia akhirat.

salam superhangat.

Kang Nur:
🙂 gak tahu ya? nyatanya seperti itu kok yg saya kutip. ..tapi ‘kemauan’ itu mmg ‘kan juga sangat penting, jadi bukan sekedar fisik

Komentar oleh cenya95

sungguh luhur
nggak kayak diriku

Kang Nur:
😀 😀

Komentar oleh suwung

Memang layak kalau Ki Hajar menjadi pahlawan nasional di bidang pendidikan

Kang Nurr:
yes

Komentar oleh annosmile

suwe g mampir nang kang nur..heuehue tak polow wes biar ndak ketinggalan..yup…idealnya memang seperti itu konsep nya..hennah trus prakteknya?

Kang Nur:
ya, konsep Ki Hadjar memang juga lebih menonjolkan kearifan lokal, ..lha di jaman sekarang (globalisasi katanya ini) model2 bahkan institusi pendidikan malah banyak yg dari luar di-“cangkok” di sini.. katanya itu ‘unggulan’, qta perlu meng-adopsi-nya, biar maju gak ketinggalan.. saya gak tahu dech lha kalo globalisasi ini juga ‘menyerbu’ bidang pendidikan, apa ya nilai-nilai budaya yg mau dimiliki anak2 kita itu juga nilai2 budaya dari luar?

Komentar oleh cebong ipiet

Ki hadjar dewantoro melegenda ya

Kang Nur:
legendaris ya?, tapi jarang dikaji serius 🙂

Komentar oleh buwel

top

Kang Nur:
mar ko Topp

Komentar oleh ciwir

Masih adakah semangat Ki Hajar Dewantara pada pendidikan kita sekarang ini di mana guru dan murid sama2 ingin meraih tujuan dengan cara sesingkat2nya namun tidak terpuji seperti membocorkan soal2 ujian nasional?? Walahualam….

Kang Nur:
wah gak tahu lah Bang.. 🙂 kebanyakan orang mmg ingin cari untung dg cara se-singkat2nya ya? trmasuk bidang pendidikan pun begitu.. he.. 😦

Komentar oleh Yari NK

hehe…dah lama gak pernah baca Sejarah Perjuangan Bangsa neh…
Jadi inget lagi…
🙂

Kang Nur:
apa juga iingin mendapat Penataran P4 lagii? boleh 😀

Komentar oleh HumorBendol

Dear Kang Nurdayat.. 😉

Salam kenal, salam persahabatan, dan salam persaudaraan dari saya mas, Upasaka Ratana Kumaro… 😉

Terimakasih mas , sudah mampir ke blog saya… .

Semoga Anda Semuanya Berbahagia 😉

Peace & Love

Kang Nur:
Terima kasih kembali. Sama-sama, pak.

Komentar oleh upasakaratanakumaro

kenapa warisan luhur Ki Hadjar tidak diteruskan dalam dunia pendidikan kita sekarang ya? malah pendidikan dijadikan komoditas dengan UU BHP *keluh*
terima kasih Mas atas postingannya, referensi mencerahkan tentang pendidikan bangsa

Kang Nur:
gak tau tu.. pendidikan sekarang, acuan n rujukannya apa ya? ;(

Komentar oleh tomy

Pendidikan itu jangan hanya agar manusia menjadi kaya, atau makmur dunianya, bukan agar manusia bisa senang-senang di dunia foya-foya.
Tapi pendidikan itu agar manusia itu menjadi baik, tau tujuan hidupnya, tabah menjalani hidupnya, bahagia dunia dan akhiratnya, bagaimanapun kondisi fisik/ekonomi/dsb dunianya.

Kang Nur:
tul. stuju

Komentar oleh danang

jadi tahu maksud kakekku kenapa kasih nama belakangku sama dengan nama belakangnya Beliau…

ada banyak harapan rupanya

terima kasih sudah berkenan berkunjung di blogku

Kang Nur :
Berarti nama belakang situ = Dewantara? Bagus lho, semoga sesuai memenuhi harapan kakek. 🙂

Komentar oleh wh

Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani…
😎
*halah, mung menika ingkang kula apal*

Kang Nur :
ya sudah lumayan ada yg dihapal 😆

Komentar oleh frozen

Orang2 yang ikhlas dalam memperjuangkan pendidikan bangsanya, merekalah pahlawannya para pahlawan…

Kang Nur:
Sekarang ini masih ada yg ikhlas ataukah tidak ya Tengku? Jangan2 kebanyakan minta imbalan saat-ini-juga? 🙂

Komentar oleh tengkuputeh

salah satu tokoh yang saya kagumi

Komentar oleh echochamber

mungkin ga kalo Ki hajar dewantara reinkarnasi n menjadi sosok lain..tp semangat nya terhadap pendidikan tetap sama,,,?

Komentar oleh MULI BGT

salam kenal,….
mas sy ingin tanya coz sy lupa,
statement Ki Hadjar Dewantara, kan ada tiga tp sy ingat cuma yg terakhir, bunyinya..
TUT WURI HANDAYANI.
skalian artinya jg ya, thk.

Kang Nur :
Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
= Di depan memberi teladan, di tengah membangun kehendak (membangkitkan motivasi), di belakang memberi kekuatan.

Komentar oleh ochidretro

saya kagum dengan ki hajar dewantara

Komentar oleh masrul hidayatullah

seandainya semangat dan pemikiran ki hajar dimiliki oleh semua pendidik yang telah tersertifikasi,dengan profesionalnya yang telah diakui oleh negara, saya pikir dan saya yakin pendidikan di indonesia akan tamabah maju

Komentar oleh dwi riastuti

Read the terms and guidelines from the site
would be helpful in the long run,” Lama said. She looks a million dollars and look at all the sex Jamie has been having, he demands some of his own. Hmmmm My husband s experiences with using genericfarmacia on line were all about even.

Komentar oleh go to this web-site




Tinggalkan komentar