The Nurdayat Foundation


Arti Sebutan Ngayogyakarta Hadiningrat
Senin, 21 April 2008, 4:06 pm
Filed under: Yogyakarta

oleh: KRT Wasesowinoto

Kota Yogyakarta yang cikal-bakalnya dari kedudukan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat terkenal menyandang sebutan Kota Budaya, Kota Perjuangan, Kota Pendidikan, Kota Wisata.
Predikat yang disandang tersebut kekuatannya terletak pada keberadaan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang menjadi salah satu pusat utama Budaya Jawa di dunia yang lestari berkembang di Bumi Nusantara, malah hingga sampai manca negara. Awal mula letak kedudukannya di Hutan Beringan, yang letaknya berada di sebelah selatan perbukitan Plawangan Gunung Merapi, sebelah utara pesisir Parangkusumo pantai selatan, di antara aliran sungai Code dan sungai Winongo.

Hutan Beringan (Paberingan)
Kata Paberingan, berasal dari kata dasar bering. Mendapat awalan pa serta akhiran an. Dengan demikian kata jadian Paberingan menunjukkan sebutan tempat (toponim). Menurut Bausastra Jawa, WJS Purwadarminta, JB Wolters Batavia 1939, kata:
-Bering, artinya bau yaitu (terutama) bau (khas) dari buah petai.
-Kata Jangkrik Bering, yaitu nama hewan jangkrik yang bisa terbang.
Pada jaman dahulu, hutan tersebut masih dipenuhi dengan peohonan yang besar-besar dan tinggi-tinggi. Bumi tanahnya mengandung mata air yang menjadi sumber penghidupan. Maka tidaklah mengherankan bila hutan tersebut lantas menjadi tempat hunian hewan-hewan sebangsa burung-burung yang mampu terbang jauh. Tersebut burung gelatik, burung emprit (pipit), burung kuntul, burung blekok (bangau putih besar), dan sebagainya.
Dengan demikian sebutan hutan Beringan (Paberingan), sesuai dengan kondisinya, yaitu sebagai tempat berhuninya hewan-hewan yang dapat terbang. Pada jaman dahulu itu tersebar riwayat yang menceritakan bahwa tatkala Ngarso Dalem Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono I masih berkedudukan (beristana) di Pasanggrahan Ambarketawang, dengan selanjutnya memperhatikan, mencermati kewilayahan dan memilih, selanjutnya menetapkan Hutan Paberingan, dikarenakan menyaksikan arah tempat bersarangnya burung-burung Blekok itu.
Diceritakan bahwa bila setiap esok pagi hari, Ngarso Dalem Kanjeng Sultan HB I selalu melihat beterbangnya ribuan burung-burung Blekok dari arah timur ke barat. Sedangkan pada sore hari menjelang senja burung-burung tersebut beterbangan kembali lagi dari arah barat ke timur. Ngarso Dalem Kanjeng Sultan HB I lalu memerintahkan kepada abdi-dalem pekathik (pengurus-pemelihara kuda), agar mencari tahu lebih jelas tempat lokasi bersarangnya burung-burung tersebut. Sesuai nalar naluri kebiasaan, bahwa tempat tinggalnya burung-burung tersebut dan bersarang, tentulah merupakan lokasi tempat yang tenteram, tenang, aman, sepi terjauh dari marabahaya. Ringkas cerita, burung-burung tersebut tidur dan bersarang pada pepohonan yang tumbuh di hutan Paberingan. Atas pemikiran Kanjeng Sultan HB I lalu tumbuh keinginan, berniat bertekad membangun istana di wilayah hutan Paberingan.

Pesanggrahan Garjitawati
Keraton Mataram beralih dari Kerto-Plered ke Kartasura. Namun; meneruskan, melestarikan, mentaati, menepati serta menghormati apa yang menjadi gagasan-pemikiran serta perintah dari beliau Sultan agung Hanyakrakusuma makatetap menggunakan-menyelenggarakan pemakan di Pajimatan Imogiri. Meskipun keraton Mataram berkedudukan di Kartasura, para Raja bila wafat tetap dimakamkan di pemakaman Pajimatan Imogiri. Berlangsungnya upacara pemakaman itu, sebelum tiba sampai ke Imogiri, membutuhkan istirahat untuk sementara waktu. Dan papan lokasi beristirahat tersebut terletak di wilayah Hutan Beringan. Oleh Susuhunan Amangkurat IV (Jawa) dinamai dengan sebutan Pesanggrahan garjitawati. Berdasarkan Bausastra Jawa WJS Purwadarminta 1939, kata itu berasal dari:
– Garjita, artinya gembira sekali, mempesonakan,
– Wati, artinya senggama (???).
Jadi, Garjitawati mengandung arti tempat yang mempesonakan, bersih, tenteram, suci lahir-batin. Intinya semua makhluk yang telah dipanggil untuk kembali ke haribaan Yang Maha Kuasa, diharapkan telah bersih dan baik serta mempesonakan. Pesanggrahan Garjitawati, tatkala saat bertahtanya Susuhunan Pakubuwono II di Kartasura (+ 1739 M), sebelum pecah Geger Pecinan (1740-1743 M)diganti dengan sebutan Pesanggrahan Ayodya.

Pesanggrahan Ayodya
Ayodya dari kata A yang berati tidak, serta kata yudha yang berarti perang. Dengan begitu, berarti sudah tidak perang, atau berarti tenteram. Arti selanjutnya pesanggrahan Ayodya dengan begitu yaitu tempat peristirahatan keberangkatan jenazah yang sudah bersih, tenteram. Wilayah di kiri-kanan sekitar pesanggrahan ini ini selanjutnya disebut dengan wilayah Ayodya yang lalu terkenal dengan wilayah Ngayogyakarta (karta = kota –pent.) Selama masa Perang suksesi Jawa III (1746 – 1755 M), Pangeran Mangkubumi oleh para sentana-dalem (pejabat bawahan beliau), prajurit-dalem, kawula-dalem dinobatkan sebagai Raja di wilayah Yogyakarta, dengan gelar Susuhunan ing Mataram Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Ingkang Tuhu Narendra Mandhireng Hamengku Telatah Ing Nuswa Jawa (1749 M). Perang Suksesi Jawa III semakin bertambah hebat.

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
Perang Suksesi Jawa III antara Susuhunan Paku Buwono II yang dilanjutkan Susuhunan Paku Buwono III yang dibantu oleh VOC Konpeni Belanda, melawan Pangeran Mangkubumi yang dibantu oleh Raden Mas said berlangsung hampir selama 9 (sembilan) tahun (1746 – 1755 M).
Perang ini berakhir-selesai dengan diselenggarakannya Perjajian Giyanti (Prajanjen palihan Nagari) tahun 1755 M. Sesuai dengan kondisi lahir-batin Kanjeng Sultan Hamengku Buwono I (Pangeran Mangkubumi), dalam hal tetap mantap menjaga, meneruskan, melestarikan serta mengembangkan budaya Mataram, Kanjeng Sultan HB I tetap kokoh dalam berkehendak mendirikan Keraton Mataram kembali di wilayah Yogyakarta. Pertama kali kedudukan beliau di Pesanggrahan ambarketawang Gamping. Selanjutnya dari Ambarketawang menyelenggarakan keraton baru yang berlokasi di wilayah Hutan Beringan, sekita kiri-kanan Pesanggrahan Ngayogyakarta (tepatnya di Pacethokan Hutan Beringan).
Pembangunan keraton dimulai pada hari Kamis Wage, 2 Sura – Wawu 1681 Saka atau tanggal 9 Oktober 1755 M.
Upacara adat boyongan dari Ambarketawang menuju atau menempati pertama kali di Keraton-Dalem (istana-beliau) hari Kamis Pahing, 13 Sura – Jimakir 1682 saka atau tanggal 7 Oktober 1756 M (dari Buku Peringatan 200 Tahun Kota Yogyakarta, 1956), disimbolkan dengan candrasengkala Dwi Naga Rasa Tunggaal sarta Dwi Naga Rasa wani. Keraton-Dalem, Keraton Mataram Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang selanjutnya terkenal dengan sebutan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Sebutan Ngayogyakarta Hadiningrat, ada yang menyatakan bahwa itu karena mengabarkan bahwa pangeran Mangkubumi sejak muda menggemari wayang pada tokoh Prabu Ramawijaya. Prabu Ramawijaya adalah titisan Dewa Wisnu. Wisnu dalam kepercayaan Hindu adalah sebagai dewa yang menjaga, memelihara, mengatur bumi seisinya.
Prabu Ramawijaya titisan Wisnu itu Raja di Ayodya(pura). Selanjutnya keraton Ayodya, itu mengandung makna papan/rumah yang baik, bersih, baik, suci, sejahtera, aman, terlindung, tenang, tenteram sebagaimana ibaratnya keraton Ayodyapura. Hadiningrat dari kata:
– Hadi, artinya luhur, indah, halus.
– Ning, artinya tenang, hening, tenteram, bersih
– Rat, tegese bumi, alam semesta.
Hadiningrat, dengan demikian berarti bumi yang tenteram, tenang, luhur, bersih, baik, suci, indah, cantik. Sebutan Ngayogyakarta Hadiningrat, intinya harapan mengajak bersama: untuk menjaga, mengatur, memelihara bumi tanah karunia yang baik, bersih, suci, luhur, tenang, tenteram. Intinya arti sebutan Ngayogyakarta Hadiningrat mengandung dan memuat goresan ajaran luhur dari leluhur budaya Jawa, yang terangkai dalam ajaran: Manunggaling Kawula Gusti, Sangkan Paraning Dumadi, Hamemayu Hayuning Bawana, Hamemangun Karyenak Tyasing Sasama.
Hayo gya padha urip ing alam ndonya (ing bumi Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat) bebarengan, kanthi: Rukun, Kurmat, Saiyeg Saeka Praya. Manungkul sarta ngungkurake: Hawa Nepsu Senenge Dhewe, Nepsu Benere Dhewe, Nepsu Butuhe Dhewe, Nepsu Menange Dhewe.*


-o0o-

Sumber: Djaka Lodang no. 03 tahun XXXVI; Sabtu Kliwon, 17 Juni 2006.


1 Komentar so far
Tinggalkan komentar

Salut untuk semua orang yang saat ini tetap mencintai dan peduli dengan budaya adiluhung tanah Jawa.

Kang Nur:
ya mari kita lestarikan, kaji dan kembangkan 🙂

Komentar oleh aLdo




Tinggalkan komentar